The post Booth BINUS UNIVERSITY appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Booth BINUS UNIVERSITY
Open Consultation – 18 Mei 2019
The post Open Consultation – 18 Mei 2019 appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
FLUKTUASI NILAI TUKAR IMPLIKASINYA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
By. Nur Azmi Karim, SE,M.Si
Persoalan yang sedang dihadapi perekonomian Indonesia sekarang cukup kompleks menyangkut berbagai dimensi ekonomi baik sistem maupun kelembagaannya. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia diawali dengan timbulnya krisis nilai tukar Rupiah sebagai konsekuensi dari sistem keuangan yang semakin terintegrasi secara global. Membaiknya perekonomian Indonesia dan ditunjang dengan stabilitas politik yang mantap dan kecenderungan penurunan suku bunga di negara maju mendorong masuknya aliran dana ke Indonesia dalam jumlah cukup besar pada tahun 1990-an. Masuknya aliran modal ke dalam negeri disamping membawa berkah dapat mendorong laju investasi juga menimbulkan kekhawatiran kemungkinan terjadinya penarikan dana dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu yang singkat dipicu oleh berbagai faktor domestik atau luar negeri (contagion effect) sehingga akan menggoyahkan fundamental ekonomi yang sudah terbina selama ini. Di samping itu yang menjadi pemicu utama krisis ekonomi di Indonesia adalah besarnya utang luar negeri swasta yang sebagian besar berjangka waktu pendek tapi diinvestasikan pada sektor ekonomi untuk jangka waktu panjang dan tingkat resikonya tinggi seperti sektor properti dan tidak dilindungi dari resiko pergerakan kurs (currency mismatching). Informasi yang berkaitan dengan interaksi ekonomi antara satu negara dengan negara lain terlihat dari data neraca pembayaran internasional.
Neraca pembayaran internasional merupakan suatu catatan sistematis yang menunjukkan nilai aktivitas ekonomi suatu negara terhadap negara atau pihak asing selama satu periode tertentu. Sampai dengan triwulan IV 2003 neraca pembayaran Indonesia menunjukkan angka surplus sebesar 1.432 juta $ US turun dibandingkan dengan waktu yang sama tahun 2002 sebesar 2.217 juta $ US. Secara total nilai neraca pembayaran tahun 2003 mengalami surplus sebesar 3.654 juta $ US turun dibandingkan tahun 2002 sebesar 5.029 juta $ US (Bank Indonesia : SEKI). Fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan stabil, hal ini terutama dipengaruhi oleh besarnya surplus neraca pembayaran yang disebabkan oleh penurunan defisit transaksi modal dan pada sisi lain meningkatnya surplus transaksi berjalan. Penguatan nilai mata uang Rupiah didorong semakin tingginya capital inflows menyusul semakin membaiknya fundamental makroekonomi Indonesia, menguatnya mata uang regional terhadap dollar AS, selisih yang cukup signifikan antara tingkat bunga domestik dan luar negeri serta respon positf terhadap lancarnya pelaksanaan pemilihan umum 2004.
Fluktuasi kurs Rupiah dipengaruhi baik oleh kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Sentral mengenai efektifitas kebijakan moneter pada sistem nilai tukar mengambang otoritas moneter telah mengubah sistem operasi kebijakan moneter dari sistem operasi berdasarkan intermediate targeting yang diterapkan selama penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistem operasi berdasarkan inflation targeting.
The post FLUKTUASI NILAI TUKAR IMPLIKASINYA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Trend Dunia Digital Negara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam 2019
Oleh Iston Utama (iston.utama@binus.edu)
Sobat BINUSIAN tentu sudah mengetahui bahwa Dunia digital telah menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir ini, bahkan telah banyak perusahaan yang melakukan analisis dan ikut masuk kedalam dunia digital tersebut. Mengapa banyak sekali perusahaan yang kini ingin masuk dan mempelajari dunia digital? Karena memang secara trend, perkembangan dunia digital sudah meningkat secara signifikan. Pada tahun 2019 ini berdasarkan data we are social tingkat penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 56%, Negara Malaysia, negara tetangga terdekat kita, tingkat penetrasi pengguna internetnya sudah mencapai 80%. Negara Thailand memiliki tingkat penetrasi pengguna internet sebesar 82% dan Negara Vietnam memiliki tingkat penetrasi pengguna internet yang tidak jauh berbeda dengan Negara Indonesia, yakni sebesar 66%. Jika dilihat dari tingkat penetrasi penggunanya, terlihat bahwa Negara Thailand memiliki tingkat penetrasi terbesar dibandingkan dengan negara – negara lain, tetapi apabila dibandingkan dengan jumlah populasi negara Indonesia memiliki populasi yang besar, sehingga meskipun penetrasi pengguna internet baru mencapai 56%, namun secara jumlah sudah melebihi tiga negara lainnya. Begitupun pada aspek lainnya seperti jumlah pengguna aktif media sosial dan pelanggan telepon seluler. Berdasarkan data ini, dapat dilihat bahwa Negara Indonesia memiliki banyak potensi untuk dapat berkembang, terlebih dapat dilihat pula bahwa pengguna internet tersebut juga merupakan pengguna aktif media sosial baik itu melalui telepon seluler (48%) maupun dari media lainnya.
Berdasarkan data tersebut tentunya para sobat BINUSIAN yang memiliki usaha melihat hal tersebut sebagai suatu peluang yang dapat dimanfaatkan dengan baik, seperti misalnya bahwa media sosial dapat menjadi alternatif media yang efektif untuk dapat berkomunikasi, menjalin hubungan baik, serta melakukan penjualan. Selain itu, karena banyak sekali orang yang menggunakan telepon seluler mereka untuk beraktivitas di dunia maya, maka sangat disarankan bagi Sobat BINUSIAN untuk membuat konten yang “enak” untuk dilihat dalam telepon seluler mereka dan tentunya konten tersebut juga haruslah dapat langsung menarik perhatian target market kita.




The post Trend Dunia Digital Negara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam 2019 appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Living Laboratory BINUS @Bandung
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat memberikan materi kepada para mahasiswa kita, salah satu program unggulan dari BINUS @Bandung adalah program living laboratory, dimana seluruh mahasiswa akan diberikan pembekalan guna mengembangkan soft skill serta living learning experience di Dusun Wangun, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 2 dan 3 Mei 2019 dimana para mahasiswa mempelajari kearifan lokal yang ada disana, belajar membangun rasa empati dan kepedulian kepada sesame, dan mempelajari tentang potensi yang dapat diangkat guna meningkatkan perekonomian dikawasan Dusun Wangun tersebut.
Para mahasiswa selama berada di Dusun Wangun tersebut akan tinggal bersama dengan para penduduk disana untuk melakukan observasi dan mempelajari keseharian mereka dengan melakukan interaksi, komunikasi, dan wawancara. Mayoritas penduduk disana berprofesi sebagai petani kopi, dan hasil dari olahan tanaman kopi tersebut memang sudah diakui sebagai salah satu kop terbaik di dunia yang memang perlu untuk dikembangkan potensinya.
The post Living Laboratory BINUS @Bandung appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Pertunjukan Seni dan Budaya di Dusun Wangun
Dalam kesempatan kegiatan living laboratory bulan mei 2019 kemarin, kami selaku tamu mendapat kehormatan untuk dapat menikmati salah satu pertujukan seni peran yang terdapat di daerah Dusun Wangun tersebut berupa pertunjukan seni bela diri dan juga pertunjukan calung. Kedua pertunjukan tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih sangat kuat melekat di Dusun Wangun tersebut.
Seni bela diri tersebut menampilkan kemampuan bela diri para anak-anak yang terdapat di Dusun Wangun tersebut, mereka mempertunjukan beberapa gerakan bela diri sambil di iringi dengan music khas tradisional sunda sehingga menjadi perpaduan yang indah dan menarik untuk disaksikan.
Pertunjukan music calung juga tidak kalah menarik. Pertunjukan ini menampilkan beberapa orang yang memainkan alat musik berbahan dasar bambu. Dalam pertunjukan ini, selain para pemain memainkan alat music, mereka juga saling berbalas “bobodoran”.
The post Pertunjukan Seni dan Budaya di Dusun Wangun appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Social Community Services BINUS @Bandung
Dalam rangkaian kegiatan Living Laboratory BINUS@Bandung kemarin, para mahasiswa melakukan beberapa rangkaian kegiatan community services di Dusun Wangun tersebut. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap para warga yang berada di Dusun Wangun. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah penanaman bibit pohon, membuat perpustakaan mini, dan pembagian buku bacaan dan buku tulis.
Kegiatan ini dilakukan untuk membangun rasa empati kepada masyarakat disekitar Dusun Wangun dan sebagai sarana untuk pengembangan soft skill dan communication skill para mahasiswa. Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan potensi yang terdapat di Dusun Wangun ini menjadi berkembang dan mendapatkan manfaat dengan adanya kunjungan dari para mahasiswa BINUS@Bandung.
The post Social Community Services BINUS @Bandung appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Showcase Produk BINUSIAN
Bertempat di Kampus BINUS @Bandung, para BINUSIAN prodi creativepreneurship melakukan pameran produk mereka. Pameran ini diselenggarakan dalam rangka rangkaian kegiatan mahasiswa di Bulan Ramadhan sekaligus memperlihatkan progress dari usaha yang telah mereka rintis dari sejak masuk ke prodi creativepreneurship. Para BINUSIAN tersebut nanti akan mendapatkan masukan terkait dengan produk-produk mereka sekaligus sarana bagi mereka untuk melakukan promosi dan juga meningkatkan penjualan dari produk-produk mereka.
Dalam kegiatan ini, selain produk juga terdapat usaha dalam bidang jasa yang ditawarkan seperti event organizer dan gift bouquet serta ada BINUSIAN yang membangun usaha berkonsep tanggung sosial dengan mendaur ulang sampah menjadi suatu hal yang dapat memberikan added value bagi masyarakat.
The post Showcase Produk BINUSIAN appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Visualisasi Diri dengan Membuat Karikatur
Menggunakan Adobe Illustrator CC
Dalam Desain Komunikasi Visual, menyampaikan pesan visual dapat dilakukan dengan membuat karya visual, dengan dua cara secara teknis, yakni manual dan digital. Tentu kita semua sudah sangat lekat dan sering sekali menggunakan aplikasi peng-edit-an di smartphone kita masing-masing. Kita bebas menentukan tema, warna, jenis editan, untuk tujuan tertentu. Entah itu untuk menghibur, membuat konten interaktif, ataupun informative, dengan menggunakan berbagai aplikasi. Entah itu berupa fotografi, ilustrasi, kartun, atau gambar 3 dimensi.
Pada komputer, jika kita ingin membuat desain yang sifatnya dua dimensi, atau bentuk visualnya seperti kartun, kita dapat membuatnya dengan menggunakan Adobe Illustrator CC. Bidang-bidang pada visual yang dihasilkan dengan Adobe Illustrator CC dimanakan vector. Yang membedakan gambar berbidang vector dengan digital drawing adalah vector itu sendiri. Vector akan terbentuk apabila kurva pada bidang, tertutup. Dia tidak berupa garis atau stroke saja, seperti pada digital drawing.
Ilustrasi yang ada pada vector, biasanya tidak digambar manual seperti pada digital drawing. Prosesnya biasanya adalah men-tracing atau menjiplak objek atau foto tertentu sesuai dengan tema dan konsep karya yang ingin dibuat. Sementara digital drawing, biasanya berupa gambar manual yang dibuat oleh seseorang, seperti menggambar pada umumnya, namun menggunakan alat digital seperti Wacom.
Agar proyek karya vector menjadi lebih menarik, maka dibuatlah karya visualisasi diri dengan membuat karikatur diri. Karikatur diri ini diambil dari kegemaran atau kesukaan seseorang terhadap sebuah karakter. Entah itu karakter super hero, karakter dari film horror, dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah, selain pemilihan karakternya adalah yang digemari, juga yang paling mendekati kepada sifat atau bentuk fisik dari si pembuat.
Setelah mendapatkan karakter yang sesuai dengan sifat dan visual diri, selanjutnya, dibuat pula ukuran kepala dari karakter tersebut menjadi lebih besar. Sebab hal ini adalah salah satu ciri dari karikatur. Agar sifat karikatur nya keluar, dan visual yang akan terbentuk adalah kartun dua dimensi, maka aspek vector ini sangat kuat di dalamnya.
Hasil karya dari proyek ini dinilai baik, dan prosesnya pun menyenangkan. Berikut beberapa contoh hasil karya visualisasi diri dengan menggunakan aplikasi Adobe Illustration CC :
The post Visualisasi Diri dengan Membuat Karikatur appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Pemodelan 4D (4D Modelling)
By: Alya Naila Hasni, Hadaya Abhista Putri, Wintari Aliifah Yasmin Prasudy
Pemodelan 4D adalah istilah yang sering digunakan di sektor konstruksi. Dalam konteks ini pemodelan 4D mengacu pada dimensi waktu keempat, dengan kata lain 4D adalah model 3D yang mencakup jadwal konstruksi.
4D Building Information Modeling (BIM) menambahkan dimensi waktu ke model CAD 3D, memungkinkan tim untuk menganalisis urutan peristiwa pada garis waktu dan memvisualisasikan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dalam proses konstruksi.
Sumber gambar: http://strata.ie
Benefit dari 4D Modeling
- Dokumen desain yang ditingkatkan dengan menguji desain terhadap urutan konstruksi.
- Menganalisis dampak perubahan desain pada garis waktu proyek.
- Perencanaan dan koordinasi lokasi yang lebih baik.
- Penjadwalan Lean.
- Menganalisa poin penahanan.
- Identifikasi lead time yang ditingkatkan untuk pengiriman tepat waktu yang lebih efektif.
- Identifikasi masalah keselamatan yang lebih efektif.
- Memantau perkembangan aktual vs yang direncanakan, yang membantu tim mengidentifikasi masalah potensial lebih cepat, mengurangi klaim.
Sejarah
Pada tahun 1998, Sir John Egan, dalam laporannya Rethinking Construction, berpendapat bahwa prinsip-prinsip dan teknik manajemen tertentu dapat berhasil dilintasi dari industri lain seperti manufaktur untuk melayani permintaan pengiriman proyek dari industri konstruksi. Laporan Egan mengutip “Teknologi sebagai Alat”:
“Salah satu bidang di mana kita tahu teknologi baru menjadi alat yang sangat berguna adalah dalam desain bangunan dan komponennya, dan dalam pertukaran informasi desain di seluruh tim konstruksi. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh, dalam hal menghilangkan limbah dan pengerjaan ulang misalnya, dari menggunakan teknologi CAD modern ke prototipe bangunan dan dengan cepat bertukar informasi tentang perubahan desain. Desain ulang harus dilakukan di komputer, bukan di lokasi konstruksi.”
4D BIM menambahkan dimensi baru (waktu) ke 3D CAD atau pemodelan solid, memungkinkan serangkaian peristiwa dapat digambarkan secara visual pada garis waktu yang telah diisi oleh model 3D (menambah grafik Gantt tradisional dan jadwal Critical Path (CPM) jadwal sering digunakan dalam manajemen proyek). Konstruksi dapat ditinjau sebagai serangkaian masalah menggunakan 4D BIM, memungkinkan pengguna untuk mengeksplorasi opsi, mengelola solusi, dan mengoptimalkan hasil. Ini memungkinkan pengembangan produk konstruksi, implementasi proyek yang kolaboratif dan transparan, bermitra dengan rantai pasokan dan produksi komponen, dan sesuai dengan visi Egan: “peningkatan berkelanjutan harus disampaikan melalui penggunaan teknik untuk menghilangkan limbah dan meningkatkan nilai bagi pelanggan.
Sebagai teknik manajemen konstruksi yang canggih, teknik ini semakin banyak digunakan oleh tim pengiriman proyek yang mengerjakan proyek yang lebih besar. Misalnya, digunakan dalam pembangunan proyek termasuk bangunan tinggi, jembatan, jalan raya, terowongan, kampus universitas dan kompleks rumah sakit, perumahan mewah, perumahan dan infrastruktur seperti gedung pengadilan, sistem tanggul, pembangkit listrik tenaga air, pertambangan dan industri fasilitas proses. 4D BIM secara tradisional telah digunakan untuk proyek akhir yang lebih tinggi karena biaya terkait, tetapi teknologi sekarang muncul yang memungkinkan proses untuk digunakan oleh orang awam atau untuk mendorong proses seperti manufaktur.
Referensi:
https://en.wikipedia.org/wiki/4D_BIM
https://www.virtualviewing.co.uk/bim/what-is-4d-modelling/
The post Pemodelan 4D (4D Modelling) appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Tes Masuk BINUS @Bandung Juni
The post Tes Masuk BINUS @Bandung Juni appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Web Banner Lebaran
The post Web Banner Lebaran appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Mengangkat Konten Lokal dalam Industri Animasi Indonesia
Pada tanggal 21 Mei 2019, tepatnya hari selasa BINUS Bandung, khsusunya Prodi Desain Komunikasi Visual mendapatkan kunjungan dari bapak Daryl Wilson, selaku pendiri dan CEO dari KUMATA Studio (PT. KUMATA INDONESIA). Ini adalah kunjungan beliau yang kedua dalam rangka sharing knowledge di kampus BINUS Bandung.
Pada kunjungannya yang kedua ini, beliau khusus membawakan topik tentang “Mengangkat Kearifan Lokal Dalam Animasi Indonesia”. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah wilayah dan bangsa yang dianugerahi oleh kekayaan budaya dan tradisi yang beraneka ragam. Kekayaan budaya tersebut menjadi potensi yang sangat melimpah ruah untuk dijadikan gagasan awal bagi terciptanya sebuah karya kreatif. Ketika kita berbicara tentang budaya dan tradisi, maka kita sedang membicarakan tentang kebiasaan dan tata cara hidup sebuah bangsa atau kuminitas masyarakat. Menurut Daryl Wilson, ketika kita misanya bicara tentang budaya Sunda, tidak cuma sekedar diwakilkan oleh artefak berupa senjata khas nya (kujang), pakaian adat, dan motif batiknya saja, namun dibutuhkan sebuah riset dan kajian mendalam untuk dapat menemukan apa sebenarnya kearifan lokal atau konten lokal dari sebuah bangsa ataupun komunitas masyarakat. Ketika kita berhasil menggali dan mengangkatnya, maka akan tercipta sebuah karya kreatif yang sangat unik dan dapat diapresiasi dengan nilai apresiasi yang tinggi.
Bagi KUMATA studio kekayaan dan keunikan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia adalah hal yang sangat dapat mengangkat value proposition dari produk kreatif mereka. Keunikan kebiasaan, kepercayaan, gaya hidup, tutur kata, dialek, dan wujud dari arsitektur maupun tata letak ruangan di sejumlah daerah di Indonesia seakan menjadi hamparan ide yang sangat kaya. Dibuktikan oleh sejumlah karya Film Animasi (2 Dimensi ), diantaranya : J-Town, The Demits, sampai pada karya Si Juki The Movie (Panitia Hari AKhir).
J-Town
Animasi 2D yang menggunakan teknik cut-out ini bercerita tentang keluarga Pak Jaya yang kaya raya, dan terbiasa hidup serba berkecukupan di kampung, tiba-tiba harus kehilangan segalanya. Satu-satunya harta yang ditinggalkan oleh mendiang ayah Pak Jaya adalah J-TOWN, sebuah rumah susun reyot di tengah kota. Dalam rusun itu, mendiang ayah Pak Jaya yang bergentayangan di J-Town meminta Jaya, Ayu, Bu Tini, Kevin, dan Keti untuk tetap tinggal dan menjaga J-Town serta para penghuninya.
Menurut, Ruben, Animation Director J-Town, proyek ini menjadi semacam percontohan. Di mana program serial animasi 2D yang diproduksi oleh studio animasi lokal kembali muncul di televisi Indonesia setelah 15 tahun berlalu. Ini membuktikan bahwa stasiun televisi dan studio animasi dapat bekerja sama dalam memproduksi sebuah serial animasi sebagai alternatif acara televisi.
Serial Animasi ini tayang di Net TV mulai Sabtu, 21 Oktober 2017. Karya ini mengambil latar belakang budaya betawi sebagai gagasan utamanya. Unsur lokal konten pada karya serial ini digambarkan lewat dialek, cara bertutur kata, pakaian keseharian (bukan melulu pakaian adat), sampai pada penggambaran kondisi lokasi dan lingkungan serta bentuk bangunannya. Dalam proses kreatifnya KUMATA mengirim tim kreatifnya untuk melakukan survey ke sejumlah daerah di Jakarta, dan dipilihlah daerah Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Daerah ini dipilih karena dianggap paling dapat mewakili latar belakang cerita dari serial J-Town.
The Demits
Sebuah karya film animasi (2 Dimensi) dengan ide dan premis yang sangat unik dan menggelitik. Dibungkus dalam paduan tema horror dan komedi yang sangat kental. Ceritanya berputar sekitar kehidupan setelah kematian dimana sang karakter utama dipertemukan dengan sejumlah hantu yang oleh budaya kita dipercayai sebagai manifestasi dari kehidupan setelah kematian. Cerita-cerita rakyat maupun urban legend termasuk salah satunya cerita-cerita mengenai keberadaan makhluk astral alias makhluk ghaib alias makhluk halus seperti Genderuwo, Kuntilanak, Pocong, dan makhluk-makhluk lainnya yang seringkali dicitrakan sebagai makhluk yang mengerikan dan membuat bulu kuduk berdiri. Namun keseraman dan keangkeran mahluk-mahluk astral ini justru akan membuat penonton tertawa.
The Demits adalah karya animasi kreatif KUMATA Studio yang mengangkat konten lokal dengan gaya yang kocak. Masyarakat pada umumnya mengenal, atau paling tidak, mendengar tentang cerita horror dan tokoh-tokoh hantu seperti pocong, sundel bolong, genderuwo, suster ngesot dan sebagainya, bisa membuat bulu kuduk terangkat, sebaliknya The Demits membawa para penontonnya pada pandangan yang berbeda.
“It turns out that life after death can be just as awkward and embarrassing as life before death. At least that is the case for our hero Demi. After leaving the world of the living by way of a humiliating misfortune, Demi finds himself in the realm of the unliving and have to adjust to his new environment filled with a variety of wacky ghost and ghouls. Luckily he meets some new friends that help show him the ropes and even enlist their help to settle some unfinished business he has in the living world”. (https://www.kumata-studio.com/thedemits)
Si Juki The Movie-Panitia Hari Akhir
Pada karya ini, Faza Meonk sebagai kreator sekaligus sutradara film ini melakukan pendekatan yang berbeda dengan komik dan cerita Si Juki terdahulu. Tidak lagi mengangkat keseharian dan kesederhanaan karakter Si Juki, namun ,mengngkat cerita ketika Si Juki berada di puncak ketenarannya. Di sisi lain, Juki mulai jengah dengan kehidupan sebagai selebriti yang serba diatur. Hingga akhirnya ia pun melakukan kesalahan yang menjadi bumerang untuk kariernya sendiri. Di tengah eksistensinya yang punah, secara bersamaan Indonesia juga diceritakan sedang dilanda bencana akan jatuhnya meteor yang dapat menghancurkan bumi pertiwi ini. Sampai akhirnya, Juki pun terlibat dalam misi penyelamatan Indonesia dari jatuhnya meteor besar bersama ilmuwan Badan Antariksa Seluruh Indonesia Erin (disuarakan Bunga Citra Lestari), Profesor Juned (Indro ‘Warkop’) dan sepupunya, Juleha (Wizzy). Jika berhasil, hal itu pun seolah menjadi misi Juki menyelamatkan eksistensinya sendiri yang kian memburuk.
Cara ungkap dari karya Si Juki ini juga berbeda dengan karya sebelum nya dimana rumitnya cerita dengan alur yang begitu cepat membuat film animasi ini tampaknya kurang pas untuk menyasar penonton semua umur. Dialog-dialog yang dihadirkan begitu rumit untuk dapat dicerna anak-anak, apalagi cerita yang melompat-lompat semakin sulit rasanya untuk mencapai nilai-nilai yang ingin disampaikan. Unsur lokal konten yang diangkat dari cerita ini terpusat pada karakter Si Juki dan juga karakter pendukung lainnya, Tokoh Babeh (Jaja Miharja) dan Enyak (Maya Wulan) lah yang tampaknya memiliki karakter kuat di film ini. Dengan logat betawi dan lelucon khasnya, karakter ini terasa yang lebih tepat sasaran.
Yang lainnya, dua karakter pendukung Congky (Pocong) dan Coro (Kecoa) cukup berkesan. Bagaimana karakter mereka yang biasanya menjadi musuh sehari-hari, justru diangkat sebagai teman, bahkan pahlawan. Selain dari sisi penokohan juga dapat dilihat kekuatan lokal kontennya dari penamaan Institusi Badan Antariksa yang meniru dari badan antariksa AS, NASA. Pada film ini digambarkan bahwa Indonesia pun memiliki badan antariksa serupa, Badan Antariksa Seluruh Indonesia disingkat BASI. Digambarkan bahwa badan antariksa ini terkesan bekerja sangat lamban disebabkan kinerja staff karyawannya yang malas dan kurang termotivasi. Pada karya film ini, unsur komedi satir dan sindiran dapat ditemukan di sejumlah adegan.

.Aris Darisman.
D3272
Dosen DKV BINUS Bandung
The post Mengangkat Konten Lokal dalam Industri Animasi Indonesia appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Memes and Genes
By Andreas J. Pratama
Ever since the age of internet started and social media flourished. It was around 2008 and the emergence of https://failblog.cheezburger.com/ a comedy site that published countless funny pictures of human and animals alike with added text. The texts quickly become an addition of context to the picture to which they serve multiple functionalities in order to reflect on the happenings in life.
The memes, however, in its definition, did not start simply from the massively shared textual pictures. Meme was first mentioned by biologist and ethologist Richard Dawkins in 1976, to simplify his idea: he believes that memes, like genes are also passed down, but the difference lies in its carrier. When genes are simply carried over by biological welding of two opposite sex’s reproductive elements, the memes, some believe to be carried by culture while some believe to be carried by genes themselves. When a particular group of people in the island of Nias see the stone wall vaulting as a rite of passage, it’s almost naturally and willingly that the acceptance of such tradition become instantaneous. This is concrete example where a particular actions or ritual become commonly understood and done repeatedly with minimal resistance; this is meme. Should then we look at culture as an organic matter or a hereditary genetic matter also?
Far from over, our evolution as a species, if Darwinian theory remains unchallenged – has not stopped. More and more children today are being given gadgets that the dexterity of their fingers become impaired, the sharpness of their momentary attentions heightened, however they cannot last for too long. This alone drives the newer generation to have lesser mastery over their physical and bodily controls, a rewriting of genetic traits on a grand scale when left uninterrupted for the next 2-3 generations. Such is also the development of memes; Indonesia have recently been flooded by a humor type labeled as humor “receh” (untranslatable to English, but definitively a humor that somehow touched upon a very superficial unimportance that they hint or somewhat appear to have contextual relation despite often the opposite). When such humor is left to propagate for a generation or two the entire generation will soon be laughing no more to satirical jokes, such is an evolution also in memetic habits.
The culture of text today in the age of industrial revolution 4.0 today is dominated by internet of things and massive spread and sharing of social media posts. The rate in which texts are employed become shorter and shorter but their meanings and context become denser and hybridized in its textual output through the support of imageries: or what we know as memes. Our willingness to confront ourselves through the seclusive and isolating process of writing and reading is waning ever dimmer. Instead, the generations are fed with constant barrage of self-projection intended to fill the empty chasm of long self-reflection and finesse through word and speech crafts. Through meme posts these older arts of speech craft and writing skills become overwritten and replaced by the newer memetic trait of the 4.0 generations: the memes.
Human beings are composed of chemical substances that form us as a whole. With the mapping of human genomes and the advancement of genetic modification, it is no longer a far-fetch believe that some humans’ secretion of hormone can be edited or suppressed further genetically harnessing control over their actions (memes). Therefore, both the chemistry of biology is just as important as the culturally shared action and performance as they both possess the key to each other’s control.
The post Memes and Genes appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Reacting to ‘Sexy Killers’ the Documentary
Andreas J. Pratama
Humans are visual creatures, and by such ideal, anyone born not devoid of their visual perception will put to use this biological feature instinctively and naturally. Such innate feature is often taken for granted, with unpolished knowledge and the alarming rate in which instant culture sprawls today renders our thinking-feeling capability disarmed. The recent viral shares of the documentary ‘Sexy Killers’ (2019) released just weeks prior to the Indonesian national election is muddled with hundreds if not thousands of different public thoughts anything from both rejecting and accepting its validity as a documentary. My very own personal view on the documentary does not matter, although it cannot be separated entirely from influencing this written article: my sympathy for the failures of many to get what the documentary is striving to argue. However, there is one particular thing I would like to underline here: Beyond the sexy, sappy, emotionally charged anger and sadness or political sentiments that has been dauntingly dragging for so long between both the Jokowi and Prabowo sides are soiling the main argument of the documentary itself. Yes, I am aware that the motive can be read as anarchistic, promoting apathy (GOLPUT) towards the election, anyone worth their grains of salt will know that politics are never black and white / good – evil / pure – impure some good are necessary evil and some evil are necessary good. But all of these are fallouts and misinterpretations from the main target in which the documentary is targeting – which I believe is a non-final argument worthy of even being debated heatedly on the internet as if the netizens are barking up the wrong tree.
Sexy killer is a form of journalistic documentary produced by a team from WatchDoc production called “Advocative” journalism in which the visual product argues strongly and presenting a case as bold, as strongly as it possibly can to invite the audience for a call to action. It is in its nature that this advocative journalism should be presented in a very argumentative way, without it, the documentary will lose its fangs unable to bite into anyone’s consciousness or appeal to them in the slightest of sense. This is a mere classification of genre but not an evaluation whether this documentary is worth watching or whether its arguments are true / false. Asians are known to avoid debate and discussions it is written in our social system to prefer calmness, venturing beyond this will be regarded as going into a heated debate or a ‘fight’. This social structure is ingrained in what is named “High Power Distance Culture” by Geert Hofstede (1997, Cultures and Organization: Software of the Mind). Despite the availability of “Musyawarah Kekeluargaan” (family-mediated discussion) ideology, this discussion / debate is still controlled and approved by a senior figure to round arguments up, often not by worth of wisdom but by submission to the senior authoritative figure assumed to be wise.
In that sense, handling different opinions and often requiring settlement via a debate or dispute is not one of Asian culture’s trait. Paired with majority of Indonesians’ poor writing and idea organization skills (through practice of essay writing) detecting main argument of a documentary such as Sexy Killers become extremely difficult. In its most basic argument structure, the documentary opens itself by presenting us the lives all urbanites know, the glamorous city nights, a newly wedded couple, electrical equipment and utensils and the power outlets to which they are all connected to and continuously consumes energy. Just through this opening scene we can already sense that the main argument should be about energy consumption. Not the eroticism the newly wedded couple is trying to perform, nor trying to sell us electrical utensils if any of the latter is deemed to be the main narrative of the documentary one can then see the remainder of the documentary to see if their argument favors the conclusion. The rest of the documentary talks about how people are being treated unjustly, being confined and surrounded by huge corporations and the grievances the coal mines have caused them leading to the most sneered upon part of exposing the authorities and the policy makers behind the coal industries themselves which causes a lot of ruckus and disfavor being labeled as can of worms “chaos maker” because of the debate they sparked.
There are notably many responds over the internet at how people react to this documentary. The aim of this article is not to confine you to one or two concluding perspective, but to help us realize the freedom we all have to respond to this documentary. All the available perspective over the internet are mere spectacles made to fit specific groupings and if sorted will fall into some categories of pro – against dichotomy. What of those that genuinely am interested in saving the nature without ever considering the possible false truth and the sugar-coated notion of national progress? Are not those people worthy of being regarded as true humanist for wanting to preserve the welfare of our living? On an ideal level, this alone is the sole fuel that allows the documentary to exist regardless of all the other mis-projected and mis-interpreted perspectives available online. Below is an example how there are possible readings (which are not wrong and are acceptable) but they are completely outside of what the documentary is arguing about and are rather side impacts of the main issue but not the main issue concerned with coals.
An art Historian James Elkins notes that the more informed we are by all the outside voices (in his cases were labels, tours, catalogues) the more detached we become from experiencing the work of visual arts by our most private instincts, our opinions were hijacked beforehand disabling ourselves from thinking, feeling and assessing things objectively. From the modest model of possibilities above we can all see how far the charts in the left and right columns are from the main train of thoughts and context of the documentary. A lot of times, the functionality of that documentary becomes completely obscured, drenched in the loudness of sneering posts and mis-interpretations of issues not within the theme of the documentary. And by this, Elkins (2000, How to Use Your Eyes) laments just how much of a loss this contemporary culture has brought us: instant perspectives. Debates are actually good because of how much discussion it can bring if executed in civilized manner, sharpens logic and idea organization skill but the internet instant culture, the vain internet arguing leaves much to be desired for when it comes to furthering the maturity of re-negotiation and extracting results for the greater good far beyond useless bickering.
The post Reacting to ‘Sexy Killers’ the Documentary appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Digital Trace of Notre Dame
The recent fire that accidentally happened in the heart of Paris’ 4th arrondissement, a 12-13th century gothic cathedral was up in flames following an accident during restoration process. The entire roof along the tall spire was engulfed and ravaged by the fire leaving the basilica roofless. In that moment the very icon of Europe helplessly being torn asunder the amount of overflowing emotion is untapped as we watch one of history’s most cherished building slowly reduced into a sad state. It was the great effort of the Parisienne’s fire fighter that the fire could be controlled.
Following the incident, French’s Emannuel Macron took vow to gather forces to repair and rebuild Notre dame restoring the basilica into its better state. Wave of supports came from various sources one of which came from the video game industry: Ubisoft the studio and publisher behind the Assassin’s Creed Franchise.
The screenshot from Ubisoft twitter above doubles as a PR campaign that boost up the game while at the same time providing means to sympathize to the current situation of Notre Dame. Assassin’s Creed Unity is an open world free to explore, temporarily also becomes free to play game; that digitized a representation of Paris’ central arrondissiment. Equipped with many details the game also documents the amount of details such as artefacts ranging from holy relics, paintings and cultural artefacts. The game previously succeeded in digitizing a Venetian Church of Santa Maria dei Frari (also known as ‘i frari’) which to my amazement, houses some notable paintings from the Italian renaissance period, some of which are also viewable in the game Assassin’s Creed 2 upon unlocking Venice. The amount of work and responsibility the developers and historian team had undertook allowing this game to almost hold the mantle of encyclopedic digital museum.
Despite being miniaturized and incapable of presenting a 1:1 scaling of Notre Dame the assassin’s creed unity digital data can also hope to serve as a guidance helping an enormous restoration team to know what each walls, moldings, and details looked like before the fire. This is the time when video game and digitization of things can help preserve cultural heritage, be in the fight against the all-consuming time that engulfs all physical matters eventually.
Reacting to the call for help from the French government Ubisoft donated more than €500,000 worth of funding to help restore the historic building. All stood as a testament that video games are no longer mere video game, semiotically, they are starting to give pervasive meanings to how history and cultural icons can be cherished and preserved by the interactive mass media.
The post Digital Trace of Notre Dame appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Visual experience of the 4.0
The industrial revolution 4.0 is fast approaching and for some countries it is already settling in, but for us the developing countries we are left with no choice but to take it head on towards a collision course; to give in or to die resisting the change. The industrial revolution 4.0 stemmed out from the trajectory of the information age that hitchhike the power of the semiconductor, the processing power and everything else the machine is capable of producing and networking digitally. Along with all these processing power and the advent of technology, realization of information as commodity there has to be some sort of a change towards the way we consume visuals in art and design sense. The answer is: yes, there is a change and it comes in different sort of visualization and iconicity for the designers and artists.
Our reliant for technology is no longer separable that our experiences also become completely renewed in the age of 4.0. The exhibitions, the iconic heritage houses, museums, and art have undergone massive changes in the strategy of information delivery and experience. I would like to underline experience here with a capital E. As a successor to the information age, information became the name of the game and with the mastery of various media the visual world today possesses the possibility to tell even more information – and through that information comes the Experience.
How does the industry adapt to the multiple information delivery? Let’s survey some of the well-known places that have adopted a more up-to-date strategies to serve their crowds.
Projection mapping of Casa Battlo, Barcelona
Vivid Sydney, Sydney Australia
Both the casa Battlo of Barcelona and Vivid Sydney are but two small samples of adaptation that they have undergone to further the experience. This is no small matter merely deal within the confinement of mere projection mapping, the entire experience is crafted to the point that city bus tours were involved with previewing the event, digital maps accessible from the applications are equipped to show directions, the entire complex of the show are transformed to add an extra layer of meaning to the already recognizable construction encasing them in stories, legends, sounds, and animated projections that re-introduce and preserves traditions and culture of yore in digital form.
The entire duration of the event can also be enjoyed in interactive ways. Some exhibits are artificially programmed to show interaction with the passing audience. In the field of museology, the most recent exhibition of Alexander the great: 2000 Years of Treasures (2012) brought touring the artefacts of archaic Greek, weapons, ornate armors, etc was surprisingly inclusive of technology. Having said that I do not mean simply making them looking more modernized in technological sense but they have started to look for depictions in which these stories are disseminated and that also includes video games as specimens of exhibit. In this exhibition, a walkway in between the panels were also installed with motion sensors where each passer by who went through will be rewarded with random sound of sword clenching, horse hooves rumbling and the sound of hard surfaces (such as armors) when hit by a blunt instrument. All of which help to improve our experience in consuming our visuals by providing extra layer of information.
The post Visual experience of the 4.0 appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
PERINGKAT TOP 1.000 QS WORLD UNIVERSITY RANKINGS 2020, WUJUD KOMITMEN BINUS UNIVERSITY BAGI NUSANTARA.
Jakarta, 20 Juni 2019 – Lembaga pemeringkat perguruan tinggi dunia Quacquarelli Symonds merilis QS World University Rankings 2020 berdasarkan hasil pemeringkatan yang dilakukan terhadap lebih dari 1.620 perguruan tinggi dari seluruh dunia.
Pada tahun ini BINUS UNIVERSITY pertama kalinya berhasil menduduki peringkat 801-1.000 QS World University Rankings 2020. Selain itu, BINUS UNIVERSITY juga menjadi satu-satunya perguruan tinggi yang yang saat ini menyandang predikat 4 Star dalam sepuluh besar perguruan tinggi terpilih di Indonesia.
Penilaian ini didasarkan dalam 6 indikator, yaitu; Academic reputation (40%) – mengukur unsur akademik secara menyeluruh, Employer Reputation (10%) –mengukur kualitas lulusan dari sisi pengguna tenaga kerja, Citations per Faculty (20%) – mengukur jumlah publikasi yang dihasilkan per-fakultas dengan dampak dan kualitas karya ilmiah yang dihasilkan dalam suatu perguruan tinggi, Faculty Student (20%) –mengukur kualitas kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi, International Faculty (5%) – mengukur jumlah ekspatriat/tenaga pendidik asing di fakultas/perguruan tinggi, International Students (5%) – mengukur jumlah mahasiswa asing di fakultas/perguruan tinggi.
“Syukur dan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan pemerintah, masyarakat, stakeholders, serta kerja keras BINUSIAN yang mendorong BINUS UNIVERSITY dapat terus memberikan kontribusi pendidikan terbaik bagi nusantara” – ujar Prof. Dr.Ir.Harjanto Prabowo, MM, Rektor BINUS UNIVERSITY.
Dengan pencapaian ini membuktikan komitmen BINUS UNIVERSITY untuk terus menyediakan pendidikan yang berkualitas global yang dapat membina dan memberdayakan masyarakat.
The post PERINGKAT TOP 1.000 QS WORLD UNIVERSITY RANKINGS 2020, WUJUD KOMITMEN BINUS UNIVERSITY BAGI NUSANTARA. appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Beasiswa Scholarship BINUS @bandung 2020/2021
The post Beasiswa Scholarship BINUS @bandung 2020/2021 appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.
Open House BINUS @Bandung – Sabtu 13 Juli 2019
The post Open House BINUS @Bandung – Sabtu 13 Juli 2019 appeared first on Binus @Bandung - Kampus Teknologi Kreatif.